Jumat, 15 Juni 2012

makalah organisasi internasional

BAB II
PEMBAHASAN

A.    ASEAN sebagai Regional GO
ASEAN (Association of Sout East Asian Nations) adalah sebuah organisasi kerjasama negara-negara Asia Tenggara. ASEAN dibentuk berdasarkan Deklarasi Bangkok tanggal 8 Agustus 1967 dan ditandatangani oleh ke-5 tokoh pendiri yaitu Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura dan Filipina. Brunei Darussalam masuk menjadi anggota ke-6 sejak 1 Januari 1984. Lalu kemudian tahun 1997 bertambah anggota baru yaitu Vietnam, Laos, Kamboja, dan Myanmar. Kini ASEAN telah beranggotakan 10 negara di kawasan Asia Tenggara. Dalam perkembangannya kemudian Timor Leste yang memisahkan diri dari Indonesia berkemungkinan akan diterima menjadi anngota ke-11.
Tujuan pembentukan ASEAN tercantum dalam Deklarasi Bangkok, yaitu:
1.      Untuk mempererat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial serta pengembangan kebudayaan dikawasan ini melalui usaha bersama dalam semangat kesamaan dan persahabatan untuk memperkokoh landasan sebuah masyarakat bangsa Asia Tenggara yang sejahtera dan damai.
2.      Untuk meningkatkan perdamaian dan stabilitas regional dengan jalan menghormati keadilandan tertib hukum di dalam hubungan antarnegara dikawasan ini serta mematuhi prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
3.      Untuk meningkatkan kerja sama yang aktif serta saling membantu satu sama lain di dalam msalah-masalah kepentingan bersama dalam bidang ekonomi, sosial, kebudayaan, teknik, ilmu pengetahuan dan administrasi.
4.      Untuk memberikan bantuan dalam bentuk sarana latihan dan penelitian dalam bidang pendidikan professional, teknik dan administrasi.
5.      Untuk bekerjasama dengan lebih efektif dalam meningkatkan penggunaan pertanian serta industry, perluasan perdagangan komoditi internasional, perbaikan sarana pengangkutan dan komunikasi serta peningkatan taraf hidup rakyat.
6.      Untuk memelihara kerjasama yang erat dan berguna dengan organisasi-organisasi internasional dan regional yang ada dan untuk menjajagi segala kemungkinan untuk saling kerjasama secara lebih erat di antara mereka sendiri.

Dan ASEAN sebagai regional GO yaitu sebuah organisasi pemerintah jika dilihat dari kegiatan administrasinya karena anggotanya terdiri dari Negara atau pemerintah suatu Negara.

B.     Konflik Laut Cina Selatan
Laut China Selatan (South China Sea) yang membentang dari Singapura (Selat Malaka) sampai ke Selat Taiwan telah sekian lama menjadi sumber pertentangan bagi beberapa Negara seperti China, Malaysia, Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam dan Taiwan. Negara-negara tersebut dengan dalih masing-masing mengklaim seluruh atau sebagian dari Laut Cina Selatan sebagai bagian dari teritorialnya. Cina sendiri terlihat sangat ambisius dengan klaim yang sangat luas.
Didalam kawasan laut ini memang tersimpan sejumlah alasan kuat untuk diperebutkan. Sebut saja kandungan gas alam dan minyak bumi yang demikian melimpah tentulah akan menjadi keuntungan besar bagi pemenang dari konflik berkepanjangan ini. Selain itu, lautan ini merupakan salah satu perairan yang paling sibuk di dunia. Hampir setengah kapal-kapal dunia melalui Laut Cina Selatan yang merupakan penghubung penting perdagangan Asia dan Eropa. Sebagian besar diantara kapal-kapal tersebut berlayar dari kawasan Timur Tengah membawa muatan minyak bumi.
Karenanya bagi banyak negara, kawasan ini sangat strategis untuk dijaga keamanannya. Laut Cina Selatan jelas sangat penting bagi kestabilan ekonomi dan politik global. Dengan kandungan alam dan kekayaan perairannya, tidak heran pula, kawasan ini sering menjadi sumber pertentangan dan konflik, sampai dengan menimbulkan letupan senjata. Terhitung sejak taun 1974 – 2002 terdapat 17 kali konflik senjata di Laut Cina Selatan, 12 diantaranya melibatkan Cina.

Laut Cina Selatan merupakan wilayah perairan yang membentang dari Selat Malaka di barat daya sampai Selat Taiwan di timur laut. Kawasan ini terdiri dari 200 kepulauan termasuk Kepulauan Spratlys dan Paracel. Secara geografis, Laut Cina Selatan adalah kawasan yang strategis karena perairan ini merupakan jalur transportasi laut dan militer yang padat. Laut Cina Selatan juga merupakan ladang minyak bumi dan gas alam yang melimpah. Letaknya yang strategis dengan cadangan minyak bumi dan gas alam yang melimpah, kawasan ini penyimpan potensi konflik bagi negara-negara di sekitarnya. Klaim-klaim kepemilikan atas wilayah di perairan Laut Cina Selatan mewarnai dinamika konflik tersebut. Negara–negara yang terlibat konflik adalah Cina, Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Thailand, Filipina, Vietnam, dan Taiwan.
Cina dan Indonesia bersengketa dalam kasus kepemilikan wilayah Laut Natuna, sedangkan Cina, Taiwan, Malaysia, Filipina, dan Vietnam berebut klaim atas sebagian atau keseluruhan dari gugus Kepulauan Spratyls dan Kepulauan Paracel. Cina dan Taiwan dalam satu klaim menyatakan kepemilikan atas 80% dari keseluruhan Laut Cina Selatan yang dibatasi dengan garis berbentuk ‘U’ yang dibuat dan dipublikasikan Cina pada tahun 1947 sebagai peta resmi negara. Akan tetapi tahun 1995, Cina menyatakan akan menyelesaiakan masalah ini berdasarkan United Nation on the Law of the Sea (UNCLOS) atau yang dikenal dengan Hukum Laut Internasional. Berdasarkan Hukum Laut Internasional, batas perairan negara yang termasuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah 200 mil dari batas pantai. Permasalahan yang timbul adalah batas ZEE negara-negara tersebut menjadi tumpang tindih di Laut Cina Selatan.
Kepulauan Spratly dan Paracel menjadi objek sengketa yang paling banyak diperebutkan oleh negara – negara di kawasan ini. Cina mengklaim keseluruhan dari gugus Kepulauan Spratly yang diberi nama Nansha dan sebagian besar wilayah Laut Cina Selatan, dan di awal abad ke-20, Cina memperluas klaimnya sampai Kepulauan Paracel. Dasar klaim yang dilakukan oleh Cina adalah catatan ekspedisi yang dilakukan oleh pelaut dari Dinasti Han pada tahun 110 Masehi dan Dinasti Ming pada tahun 1403-1433. Cina kemudian mengokupasi beberapa pulau pada tahun 1976, hingga saat ini ada 7 pulau yang berada dibawah kontrol pemerintah Republik Rakyat Cina. Malaysia mengklaim dan mengkontrol 2 pulau di Kepulauan Spratly berdasarkan batas landas benua. Malaysia telah membangun infrastruktur dan hotel di salah satu pulau yang diklaimnya. Filipina secara resmi mengklaim 8 pulau di Kepulauan Spratly berdasarkan penjelajahan pada tahun 1956. Pada tahun 1972 Pemerintah Filipina memasukkan 8 pulau tersebut di bawah pemerintahan Provinsi Palawan. Dasar klaim Taiwan hampir sama dengan klaim Cina atas kepulauan Spratly. Taiwan mengkontrol 1 pulau yakni Pulai Itu Aba. Vietnam mengklaim keseluruhan dari Kepulauan Spratly dan Paracel berdasarkan catatan sejarah dan batas landas benua. Kini Vietnam telah menguasai 21 pulau di gugus Kepulauan Spratly di bawah pemerintahan Provinsi Khanh Hoa.
Sengketa territorial atas Kepulauan Spratly dan Paracel selalu menyangkut kepentingan nasional negara-negara yang mengklaimnya. Kedaulatan nasional dan integritas wilayah adalah hal yang biasa untuk dipermasalahkan. Semua negara pengklaim menganggap kepentingan ini sebagai yang utama. Ini lah alasan dimana negara begitu mempersiapkan segala hal dengan begitu luar biasa untuk membela citra, kehormatan, dan kebanggan nasional. Perairan ini juga mengandung nilai strategis yang menjadi salah satu kepentingan negara pengklaim. Jalur pelayaran di perairan ini merupakan 25% dari rute pelayaran dunia dan melintasi Kepulauan Spratly. Kontrol atas kepulauan ini berarti dominasi atas rute pelayaran di Asia Pasifik. Walaupun hingga saat ini belum ada penemuan akan minyak bumi dan gas alam, prospek yang dibawa oleh kedua hal ini menjadi kepentingan yang patut diperjuangkan oleh negara – Negara pengklaim. Cina dan begitu juga negara – negara yang terlibat sengketa, percaya akan cadangan gas alam dan minyak bumi yang melimpah di perut bumi di dasar Laut Cina Selatan. Menipisnya suplai energi untuk pembangunan ekonomi, membuat banyak negara mengincar hak eksplorsi mineral di perairan ini.

C.    Klaim Negara-negara Anggota
Sejumlah negara saling berebut wilayah di Laut Cina Selatan selama berabad-abad namun ketegangan baru-baru ini menimbulkan kekhawatiran kawasan ini dapat menjadi pemicu perang dengan dampak global. Kedaulatan atas kawasan laut serta wilayah di kepulauan Paracel dan Spratly -dua rangkaian kepulauan yang diklaim oleh sejumlah negara. Selain rangkaian pulau ini, ada pula pulau tak berpenghuni, atol, dan karang di seputar perairan ini. Cina mengklaim sebagian besar kawasan ini -terbentang ratusan mil dari selatan sampai timur di Propinsi Hainan. Beijing mengatakan hak mereka atas kawasan itu bermula dari 2.000 tahun lalu dan kawasan Paracel dan Spratly merupakan bagian dari bangsa Cina.
Tahun 1947, Cina mengeluarkan peta yang merinci klaim kedaulatan negara itu. Peta itu menunjukkan dua rangkaian pulau yang masuk dalam wilayah mereka. Klaim itu juga diangkat Taiwan, yang masih dianggap Cina sebagai provinsinya yang membangkang. Vietnam menyanggah klaim Cina dengan mengatakan Beijing tidak pernah mengklaim kedaulatan atas kepulauan itu sampai tahun 1940-an dan mengatakan dua kepulauah itu masuk dalam wilayah mereka. Selain itu Vietnam juga mengatakan mereka menguasasi Paracel dan Spratly sejak abad ke-17, dan memiliki dokumen sebagai bukti. Negara lain yang mengklaim adalah Filipina, yang mengangkat kedekatan secara geografis ke kepualauan Spratly sebagai landasan klaim sebagian kepulauan itu. Tentara Filipina di pulau Thitu, Laut Cina Selatan menyambut anggota parlemen yang berkunjung Malaysia dan Brunei juga mengklaim sebagian kawasan di Laut Cina Selatan itu yang menurut dua negara itu masuk dalam zone ekslusif ekonomi, seperti yang ditetapkan dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982.  Brunei tidak mengklaim dua kepuluaan itu namun Malaysia menyatakan sejumlah kecil kawasan di Spratly adalah milik mereka.
Paracel dan Spratly kemungkinan memiliki cadangan besar sumber alam di seputar kepulauan itu. Namun tidak banyak rincian tentang kekayaan mineral ini dan perkiraan didasarkan pada sumber daya mineral di dekat wilayah itu. Para pejabat Cina memiliki perkiraan yang paling optimistik atas sumber mineral di sana. Menurut data yang dikutip oleh Informasi Energi Amerika Serikat (EIA), Cina memperkirakan cadangan minyak di sana sebesar 213 miliar barel -atau 10 kali lipat dari cadangan milik Amerika Serikat. Namun para ilmuwan AS memperkirakan jumlah minyak di sana 28 miliar barel. Menurut EIA, cadangan terbesar kemungkinan adalah gas alam. Perkiraannya sekitar 900 triliun kaki kubik, sama dengan cadangan yang dimiliki Qatar.

Kepulauan Spratly
·         Cina, Vietnam, dan Taiwan menuntut kedaulatan atas sebagian besar wilayah Laut Cina Selatan, termasuk Kepulaian Spratly dan Paracel.
·         Filipina, Malaysia, dan Brunei juga mengklaim sebagian wilayah yang saling tumpang tindih.
·         Kepulauan Spratly diperkirakan kaya akan kandungan minyak maupun gas dan juga berada di jalur pelayaran penting.
·         Cina memperkirakan cadangan minyak di kawasan itu mencapai 213 miliar barel walau perkiraan Amerika Serikat jauh lebih rendah, 28 miliar barel.
·         Perkiraan kasar kandungan gas sekitar 25 triliun m3 atau sama dengan cadangan gas yang dimiliki Qatar.
·         Salah satu pulau di Kepulauan Spratly, Thitu, dihuni oleh sekitar 60 penduduk sipil Filipina dan memiliki jalur pendaratan pesawat.
Kawasan itu juga merupakan rute utama perkapalan dan sumber pencarian ikan bagi kehidupan ribuan orang yang tinggal di sekitar.
D.    Peran ASEAN dalam penyelesaian Konflik
1.      ASEAN sebagai Peredam Konflik

Peran ASEAN sebagai peredam konflik sangat tergantung pada komitmen bersama anggotanya dengan tidak mengingkari kesepakatan secara regional. Sebagaimana kita ketahui bahwa sejak asosiasi regional ini berdiri, praktis tidak pernah terjadi konflik terbuka di antara negara-negara yang bertetangga dengan ASEAN. Berbeda dengan situasi sebelum ASEAN terbentuk, berbagai ketegangan, konflik maupun konfrontasi mewarnai kawasan ini. Dalam hal ini ASEAN mempunyai pengalaman dalam menata hubungan bertetangga baik di antara sesama anggotanya. Akan tetapi, berakhirnya Perang Dingin dan berkurangnya peranan kekuatan militer asing di wilayah ini mempengaruhi hubungan di antara sesama anggota ASEAN. Berkurangnya jaminan keamanan negara-negara besar di kawasan telah mendorong negara-negara ASEAN untuk meningkatkan pertahanannya masing-masing. Apabila negara-negara besar yang terlibat dalam Perang Dingin kini mengurangi pembelanjaan senjata secara besar-besaran, namun situasi yang terjadi di Asia Pasifik, terutama negara-negara dunia ketiga, seperti negara-negara yang tergabung dalam ASEAN, justru sebaliknya.
Dalam menghadapi masalah klaim di Laut Cina Selatan misalnya, ASEAN harus tampil sebagai "an honest broker" peredam konflik. Keterlibatan beberapa negara ASEAN dalam sengketa Laut Cina Selatan, menjadi semakin penting dilakukannya perundingan damai secara terus-menerus. Terutama ketika harus berhadapan dengan Cina yang mengklaim seluruh wilayah di Laut Cina Selatan.  Secara demikian, usaha kerja sama akan menciptakan hubungan baik dan mengurangi rasa curiga di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Usaha-usaha kerja sama untuk menyelesaikan sengketa akan dapat menurunkan tingkat potensi konflik menuju identifikasi dan usaha pemanfaatan peluang-peluang kerja sama dalam menciptakan keamanan, stabilitas dan perdamaian di kawasan. Selain itu, mekanisme upaya lokakarya tentang Laut Cina Selatan yang selama ini berlangsung dapat menjadi sarana untuk meningkatkan saling percaya dan proses untuk meluaskan common ground beberapa isu politik dan keamanan di Laut Cina Selatan. Sehingga pada akhirnya ikut memperkuat peran ASEAN sebagai peredam konflik pada masa mendatang.
Untuk konflik Laut China Selatan, Marty merujuk pada code of conduct yang disepakati negara-negara yang bertikai. "Untuk mengelola konflik diselesaikan negara terlibat langsung. Penanganan Laut China Selatan sudah ada skripnya, pola, kerangka Asean-Tiongkok. Kemajuannya sangat luar biasa dalam satu tahun terakhir ini. Sekarang kita memasuki code of conduct, permasalahan dihadapi, negara dilibatkan, sekarang Tiongkok ingin dilibatkan," kata Marty.
Untuk menyelesaikan konflik di Asean, acapkali Asean tak mampu menjadi aktor yang mampu menyelesaikan konflik secara permanen. Dalam konflik perbatasan Indonesia-Malaysia, kedua belah pihak justru memilih menyelesaikan di Mahkamah Internasional di Deenhag, Belanda. "Ketika konflik Thailand-Kamboja, Kamboja mau bawa masalah ke PBB dan Mahkamah Internasional, tapi disarankan ke Asean dulu," ujar Dewi Fortuna Anwar, Deputi Politik Setwapres RI. Sebenarnya Asean bisa memanfaatkan modalitas Asean sebagai penyelesaian konflik. "Dalam penyelesaian konflik  Indonesia menyarankan memakai modalitas Asean. tapi malaysia menolak karena dia paling banyak bermasalah dengan negara tetangganya," ujar Dewi Fortuna Anwar, Deputi Politik Setwapres RI.
Penyelesaian konflik di Asean tidak mudah. Persoalan mendasar adalah masih adanya jurang politik dan ekomomi antar negara.  Dari sisi politik masih ada negara dengan rezim otoriter, semi otoriter dan ada yang sudah demokratis.
Kesenjangan ekonomi juga masih menganga. Dari aspek Indeks Pembangunan Manusia tahun 2011 tercatat 0,866 untuk Singapura yang berada di peringkat 26 dari 187 negara yang disurvei, 0,617 untuk Indonesia (peringkat 124), hingga 0,483 untuk Myanmar (peringkat 143). Pendapatan per kapita per tahun di Singapura adalah US$52,569, Indonesia masih US$3,716, dan Myanmar berada di urutan terbawah di Asean dengan US$1,535. Ada negara yang sibuk untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, ada yang masih berkutat dengan keamanan.
Persoalan konflik di Asean juga tak mudah diselesaikan karena, misalnya, Myanmar, jamak diketahui sebagai sekutu China. Dalam kasus Laut China Selatan Myanmar berkepentingan untuk mengamankan negeri junjungannya, China, yang kini tengah membangun berbagai proyek infrastruktur di Myanmar untuk menunjang distribusi dan perdagangan global.  Namun prospek masih bagus, dan tampaknya road map menuju ke sana dapat dijalankan. Hal ini tentu tidak lepas dari peran negara-negara sentral, khususnya Indonesia, yang menempatkan ASEAN sebagai prioritas utama politik luar negerinya. Indonesia menjadi sangat penting karena sebagai negara terbesar yang demokratis dan stabil, Indonesia diharapkan memainkan peran utama sebagai pemimpin komunitas kawasan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar