Sabtu, 02 Juni 2012

makalah hadis

BAB I
PENDAHULUAN

Islam sebagai agama mempunyai makna bahwa Islam memenuhi segala aspek tuntutan kebutuhan manusia di mana saja berada sebagai pedoman hidup baik bagi kehidupan duniawi maupun bagi kehidupan sesudah mati. Dimensi ajaran Islam merupakan referensi yang sangat lengkap, diantaranya memberikan aturan bagaimana caranya berhubungan dengan Tuhan atau Khaliqnya, serta aturan bagaimana caranya berhubungan dengan sesama makhluk, termasuk di dalamnya persoalan hubungan dengan alam sekitar atau lingkungan hidup. Dalam perkembangan selanjutnya, dalam mengemban tugas ini, manusia memerlukan suatu tuntunan dan pegangan agar dalam mengolah alam ini mempunyai arah yang jelas dan tidak bertentang dengan kehendak Allah SWT. Islam sebagai ajaran agama yang diturunkan oleh Allah SWT  kepada umat manusia melalui Rasul-Nya adalah satu pegangan dan tuntunan bagi manusia itu sendiri dalam mengarungi kehidupan ini.
Allah SWT mengutus para Nabi dan Rasul-Nya kepada ummat manusia untuk memberi petunjuk kepada jalan yang lurus dan benar agar mereka bahagia dunia dan akhirat. Rasulullah lahir ke dunia ini dengan membawa risalah Islam, petunjuk yang benar. Hukum Syara’ adalah khitab Syari’ (seruan Allah sebagai pembuat hukum) baik yang sumbernya pasti (qath’i tsubut) seperti Al-Qur’an dan Hadits, maupun ketetapan yang sumbernya masih dugaan kuat (zanni tsubut) seperti hadits yang bukan tergolong mutawatir. Al-Qur’an dan Hadits merupakan sumber pokok ajaran Islam dan merupakan rujukan umat Islam dalam memahami syariat.
Dalam hukum Islam, hadits menjadi sumber hukum kedua setelah al-Qur`an. Penetapan hadits sebagai sumber kedua ditunjukan oleh tiga hal, yaitu al-Qur`an sendiri, kesepakatan (ijma`) ulama, dan logika akal sehat (ma`qul). Al-Quran menekankan bahwa Rasulullah Saw berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah. Karena itu apa yang disampaikan Nabi harus diikuti, bahkan perilaku Nabi sebagai rasul harus diteladani oleh kaum muslimin. Sejak masa sahabat sampai hari ini para ulama telah bersepakat dalam penetapan hukum didasarkan juga kepada sunnah Nabi, terutama yang berkaitan dengan petunjuk operasional. Keberlakuan hadits sebagai sumber hukum diperkuat pula dengan kenyataan bahwa Al-Qur`an hanya memberikan garis-garis besar dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia. Karena itu, keabsahan hadits sebagai sumber Petunjuk hidup kedua secara logika dapat diterima.
Di antara ayat-ayat yang menjadi bukti bahwa hadits merupakan sumber hukum dalam Islam adalah sebagai berikut :         
Dalam Q.S An- Nisa': Ayat 80, Allah Berfirman :
"Barangsiapa yang mentaati Rosul, maka sesungguhnya dia telah mentaati Alloh…"
Dalam ayat lain Allah berfirman :                  
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah…" (QS. Al-Hasyr : 7)  
Dalam Q.S An-Nisa' : Ayat  59, Allah berfirman :    
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembali kanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)…"
















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kedudukan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam
Seluruh umat Islam telah sepakat bahwa hadis rasul merupakan sumber dan dasar hukum Islam setelah al-Quran, dan umat Islam diwajibkan mengikuti hadis sebagaimana diwajibkan mengikuti al-Quran. Al-Quran dan hadis merupakan dua sumber hukum syariat Islam yang tetap, yang orang Islam tidak mungkin memahami syariat Islam secara mendalam dan lengkap dengan tanpa kembali kepada kedua sumber Islam tersebut. Seorang mujtahid dan seorang alimpun tidak diperbolehkan hanya mencukupkan diri dengan salah satu dari keduanya.
Banyak ayat al-Quran dan hadis yang memberikan pengertian bahwa hadis itu merupakan sumber hukum Islam selain al-Quran yang wajib diikuti, baik dalam bentuk perintah maupun larangan-Nya. Uraian di bawah ini merupakan paparan tentang kedudukan hadis sebagai sumber hukum Islam dengan dalil-dalil tentang kehujjahan hadis, baik naqli maupun aqli.

1.      Al-Quran al-Karim
Di dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang menjelaskan tentang kewajiban taat kepada Rasulullah SAW, tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang disampaikan oleh Rasul kepada ummatnya untuk dijadikan pedoman hidup. Diantara ayat-ayat yang dimaksud adalah:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulnya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih baik akibatnya. (QS. Al-Nisa: 59)
            Yang dimaksud mengembalikan kepada Allah adalah mengembalikan kepada al-Quran dan kembali kepada Rasulullah SAW maksudnya adalah kembali kepada sunnahnya. Allah SWT juga menjelaskan bahwa taat kepada Rasulullah SAW berarti taat kepada-Nya, firman-Nya:
Barang siapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. (QS. Al-Nisa: 80)
            Berdasarkan kenyataan ini, maka sebenarnya Allah SWT juga menyebut secara eksplisit dalam al-Quran kewajiban taat kepada Rasulullah SAW. Semua itu merupakan dalil bertumpuk kepada sunnah dan dijadikan salah satu sumber pembentukan syariat dalam Islam.

2.      Hadis-hadis Nabi SAW
Adapun hadis-hadis Nabi yang menjelaskan tentang kehujjahan sunnah/hadis adalah:
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”.(HR. Malik)
            Diriwayatkan oleh al-Miqdam bin Ma’di Kariba, dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:
“Ingatlah, sesungguhnya aku diberi al-Qur’an dan yang semisalnya bersamanya”. (HR. Abu Daud).
            Dalam riwayat dari al-Irbash bin Sariyah ra, daru Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda:
“Tetaplah kalian pada Sunnahku dan Sunnah Khulafa’urrasyidin yang telah mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah pada keduanya, dan gigitlah dengan gigi gerahammu.
            Hadis-hadis itu menunjukkan bahwa Rasulullah SAW diberi al-Quran dan Sunnah, dan kewajiban kita berpegang teguh kepada keduanya serta mengambil apa yang ada pada sunnah seperti mengambil apa yang ada pada al-Quran. Rasulullah SAW tidak cukup hanya memerintah berpegang teguh pada sunnahnya, tetapi juga mencela orang yang meninggalkannya karena hanya bertumpuk pada apa yang ada dalam al-Quran saja, dalam hal ini beliau bersabda:
“Pastilah hampir ada seorang di antara kamu yang duduk bersandar ditempat duduknya, yang datang kepadanya sebagian kepadaku, yang aku perintahkan atau aku larang, lalu berkata: Aku tidak tahu, apa yang biasa kami temukan dalam kitabullah akan kami ikuti.[1]

3.      Kesepakatan Ulama (Ijma’)
Umat Islam telah mengambil kesepakatan bersama untuk mengamalkan sunnah. Bahkan hal itu mereka anggap sejalan dengan memenuhi panggilan Allah SWT. Dan Rasul-Nya yang terpercaya. Kaum muslimin menerima sunnah seperti mereka menerima al-Quran al-Karim, karena berdasarkan kesaksian dari Allah Azza Wa Jalla, sunnah merupakan salah satu sumber syariat. Telah disebutkan banyak ayat yang telah mengukuhkan hal ini. Allah SWT juga memberikan kesaksian bagi Rasul SAW, bahwa beliau hanya mengikuti apa yang diwahyukan. Firman-Nya dalam QS. Al-An’am ayat 50:
“Katakanlah, “Aku tidak mengatakan kepadamu bahwa pembendaharaan Allah kepadaku, dan tidak (pula) aku mengetahui yang gaib dan tidak (pula) aku mengatakan kepadamu bahwa aku adalah seorang malaikat. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Katakanlah! Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat ? Maka kamu tidak Memikirkan-Nya”.
            Apa yang diwahyukan kepada beliau mengandung hidayah dan kebaikan bagi para pengikutnya serta jalan keselamatan mereka di dunia dan akhirat. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-A’raf ayat 203:
“Dan apabila kamu tidak membawa suatu ayat al-Quran kepada mereka, mereka berkata: Mengapa tidak kamu buat sendiri ayat itu? Katakanlah sesungguhnya aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan Tuhanku kepadaku, al-Quran ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjukan dan rahmat bagi orang-orang yang beriman”.
Dan juga firman-Nya dalam QS. Al-Anfal ayat 24:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa Allah mendinding antar manusia dan hatinya, dan  sesungguhnya hanya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan”.
            Karena semua itulah kaum muslimin sesungguhnya memperhatikan Sunnah Nabawiyah. Ulama Khalaf mengambil dari ulama salaf begitu seterusnya dari generasi ke generasi. Mereka menjadikan rujukan atas berbagai persoalan keagamaan yang mereka hadapi, yakni persoalan-persoalan keagamaan, mereka memegang teguh apa yang ada di dalamnya. Mereka menjaganya, karena memenuhi panggilan Allah Azza Wa Jalla dan pengakuan utuh atas Rasul-Nya.

4.      Pandangan Ahl al-Ra’yi
Sesungguhnya Mazhab Abu Hanifah Imam para ahli Ra’yu tidak pernah menolak Sunnah, dan para imamnya masih beragumentasi dengannya, serta membangun hukum-hukum mereka berdasarkan sunnah. Kebanyakan pemecahan masalah-masalah juga didasarkan pada hadis dan riwayat sebagaimana yang dapat kita saksikan pada berbagai buku dan mazhab.

5.      Pandangan Para Fuqaha
Dengan pasti ditegaskan  disini bahwa semua fuqaha kaum muslimim dari berbagai mazhab dan kawasan, baik yang mempunyai mazhab yang masih bertahan yang tinggal namanya saja, yang memiliki pengikut maupun yang tidak, mereka memandang penting mengambil sunnah, menetapkan hukum dengannya, serta merujuk kepadanya apabila ada bagian dari agama Allah yang sudah jelas bagi mereka dan tidak dapat dipertentangkan lagi. Sikap seperti ini, sama-sama diambil oleh orang yang cenderung kapada mazhab hadis.
Al-Baihaqi meriwayatkan hadis dari Usman bin Umar berkata,”ada seorang laki-laki datang menemui Malik kemudian bertanya tentang suatu masalah. Lalu dia menjawab,”Rasulullah SAW bersabda begini dan begitu”. Kemudian orang itu berkata,”Apakah kamu melihatnya sendiri?” maka Malik menjawab: “…Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”

6.      Sesuai Petunjuk Akal
Kerasulan Nabi Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Di dalam mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang diterima dari Allah SWT, baik dari isi maupun formulasinya dan kadang kala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan ilham dari Tuhan. Namun, tidak  jarang beliau membawakan hasil ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak ditunjuk oleh wahyu dan juga tidak dibimbing oleh ilham. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada nas yang menasakhnya.
            Bila kerasulan Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan, maka sudah selayaknya segala peraturan dan perundang-undangan serta inisatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham atau atas hasil ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber hukum dan pedoman hidup. Di samping itu, secara logika kepercayaan kepada Muhammad SAW sebagai Rasul mengharuskan umatnya mentaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan.

B.     Fungsi  Hadis Terhadap Al-Quran
Al-Quran dan hadis sebagai pedoman hidup, sumber hukum dan ajaran dalam Islam, antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan satu kesatuan. Al-Quran sebagai sumber pertama dan utama bnyak memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum dan global. Oleh karena itu kehadiran hadis, sebagai sumber ajaran kedua tampil untuk menjelaskan (bayan) keumuman isi Al-Quran tersebut. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam QS. An-Nahl ayat  59 :
“Dan Kami turunkan kepadamu al-Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang diturunkan kepada mereka supaya mereka berpikir.”
            Allah SWT menurunkan al-Quran bagi umat manusia, agar al-Quran ini dapat dipahami oleh manusia, maka Rasul SAW diperintahkan untuk menjelaskan kandungan dan cara-cara melaksanakan ajarannya kepada mereka melalui hadis-hadisnya. Oleh karena itu, fungsi hadis Rasul SAW sebagai penjelas (bayan) al-Quran itu bermacam-macam seperti yang dijelaskan dibawah ini.

1.      Bayan at-Taqrir
Bayan at-Taqrir disebut juga dengan bayan al-ta’kid dan bayan al-itsbat. Yang dimaksud dengan bayan ini ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Quran. Fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Quran. Sebuah contoh hadis yang diriwayatkan Muslim dari Ibnu Umar :
“Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah”.
            Hadis ini men-taqrir ayat al-Quran QS. Al-Baqarah ayat 185:
“Maka barangsiapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa…”
Contoh lain, hadis riwayat Bukhari dari Abu Hurairah :
“Rasul SAW telah bersabda: Tidak diterima shalat seseorang yang berhadas sebelum ia berwudhu”.
Hadis ini mentaqrir QS. Al-Maidah ayat 6 mengenai keharusan berwudhu ketika seseorang akan mendirikan shalat.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah muka dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, …”
Juga Hadis Rasulullah SAW tentang dasar-dasar Islam yang diriwayatkan dari Ibnu Umar :
“Rasulullah SAW telah bersabda: Islam dibangun atas lima dasar, yaitu mengucapkan kalimat syahadah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, menunaikan ibadah haji, dan berpuasa dalam bulan Ramadhan.”
Hadis ini mentaqrir ayat-ayat Al-Quran tentang syahadah (QS. Al-Hujurat: 15), shalat dan zakat (QS. An-Nur: 56), puasa (QS. Al-Baqarah: 182 dan 185), dan tentang haji (QS. Ali Imran: 97).
Abu Hamadah menyebut bayan taqrir atau bayan ta’kid ini dengan istilah bayan al-muwafiq li al-nas al-kitab. Hal ini dikarenakan munculnya hadis-hadis itu sealur (sesuai) dengan nas al-Quran.[2]

2.      Bayan al-Tafsir
Yang dimaksud dengan bayan al-tafsir adalah bahwa kehadiran hadis berfungsi untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran yang masih bersifat global (mujmal), dengan memberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Quran yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsish) terhadap ayat-ayat al-Quran yang masih bersifat umum. Diantara contoh tentang ayat-ayat al-Quran yang masih mujmal adalah perintah mengerjakan shalat, puasa, zakat, disyariatkannya jual beli, nikah, qhisas, hudud dan sebagainya. Ayat-ayat al-Quran tentang masalah ini masih bersifat mujmal, baik mengenai cara mengerjakan, sebab-sebabnya, syarat-syarat, atau halangan-halangannya. Oleh karena itu, Rasulullah SAW melalui hadisnya menafsirkan dan menjelaskan masalah-masalah tersebut. Sebagai contoh dibawah ini akan dikemukakan beberapa hadis yang berfungsi sebagai bayan al-tafsir.
   “Shalatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat”. (HR. Bukhari)
Hadis ini menjelaskan bagaimana mendirikan shalat. Sebab dalam al-Quran tidak menjelaskan secara rinci. Salah satu ayat yang memerintahkan shalat adalah QS. Al-Baqarah ayat 43 :
“ Dan kerjakanlah shalat, tunaikan zakat, dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku”.
Sedangkan contoh hadis yang membatasi (taqyid) ayat-ayat al-Quran yang bersifat mutlak, antara lain seperti sabda Rasulullah SAW :
“Rasulullah SAW didatangi seseorang dengan membawa pencuri, maka beliau memotong tangan pencuri dari pergelangan tangan”.
Hadis ini men-taqyid QS. Al-Maidah ayat 38 :
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah …”
            Sedangkan contoh hadis yang berfungsi untuk men-takhshish keumuman ayat-ayat al-Quran adalah :
“Kami para Nabi tidak meninggalkan harta warisan”.
Nabi SAW bersabda: “Tidaklah orang Muslim mewarisi dari orang kafir, begitu juga orang kafir tidak mewarisi dari orang Muslim”.
            Kedua hadis tersebut mentakhshishkan keumuman QS. An-Nisa’ Ayat 11:
“Allah mensyariatkan kepadamu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan”.

3.      Bayan at-Tasyri’
Yang dimaksud dengan bayan at-tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Quran, atau dalam al-Quran hanya terdapat pokok-pokoknya  (ashl) saja. Hadis Rasul SAW dalam segala bentuknya (baik yang qauli, fi’li maupun taqriri) berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang muncul, yang tidak terdapat dalam al-Quran. Ia berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh para sahabat atau yang tidak diketahuinya, dengan menunjukkan bimbingan dan menjelaskan duduk persoalannya.
Hadis-hadis Rasul SAW yang termasuk ke dalam kelompok ini, diantaranya hadis tentang penetapan haramnya mengumpulkan dua wanita bersaudara (antara istri dengan bibinya), hukum syuf’ah, hukum merajam pezina wanita yang masih perawan, hukum tentang hak waris bagi seorang anak,[3] ketiadaan hukum bunuh atas diri muslim yang bunuh kafir, kebolehan khiyar syarat, kebolehan gadai dalam kondisi tidak mufasir dan kkeharusan meninggalkan solek bagi wanita yang ditinggal mati suaminya dalam jangka waktu tertentu, yang merupakan tambahan atas kewajiban ‘iddah yang disebutkan di dalam al-Quran, serta lainnya.[4] Suatu contoh hadis tentang zakat fitrah, sebagai berikut:
“Bahwasanya Rasul SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu sukat (sha’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki-laki atau perempuan muslim”. (HR. Muslim)
            Hadis Rasul SAW yang termasuk bayan at-Tasyri’ ini waib diamalkan, sebagaimana kewajiban mengamalkan hadis-hadis lainnya. Ibnu al-Qayyim berkata, bahwa hadis-hadis Rasul SAW yang berupa tambahan terhadap al-Quran, merupakan kewajiban atau aturan yang harus ditaati, tidak boleh menolak atau mengingkarinya, dan ini bukan sikap Rasul SAW mendahului al-Quran melainkan semata-mata karena perintah-Nya.[5]
            Imam al-Syaf’iy mengatakan, “Apakah yang disunnahkan oleh Rasulullah SAW… berkenaan dengan apa yang tidak ada hukum Allah mengenainya, maka berdasarkan hukum Allah-lah beliau membuat sunnah itu, demikianlah Allah SWT mengkhabarkan kepada kita, melalui firman-Nya dalam QS. Al-Syuraa ayat 52:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus, (yaitu) jalan Allah”. 

4.      Bayan al-Nasakh
Ketiga bayan yang telah diuraikan diatas disepakati oleh para ulama, meskipun untuk bayan yang ketiga ada sedikit perbedaan yang terutama menyangkut definisi (pengertian) nya saja.
Untuk bayan jenis keempat ini, terjadi perbedaan pendapat yang sangat tajam. Ada yang mengakui dan menerima fungsi hadis sebagai nasikh terhadap sebagian hukum al-Quran dan ada juga yang menolaknya.
Kata nasakh secara bahasa berarti ibthal (membatalkan), izalah (menghilangkan), tahwil (memindahkan), dan taghyir (mengubah). Para ulama mengartikan bayan al-nasakh ini banyak yang melalui pendekatan bahasa, sehingga diantara mereka terjadi perbedaan pendapat antara ulama mutaakhirin dengan ulama mutaqaddimin. Menurut pendapat yang dipegang dari ulama mutaqaddimin, bahwa terjadinya nasakh ini karena adanya dalil syara’ yang mengubah suatu hukum (ketentuan) meskipun jelas, karena telah berakhir masa keberlakuannya serta tidak bisa diamalkan lagi, dan syar’I (pembuat syari’at) menurunkan ayat tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya (temporal).[6]
Jadi, intinya ketentuan yang datang kemudian tersebut menghapus ketentuan yang datang terdahulu, karena yang terakhir dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan nuansanya. Ketidakberlakuan suatu hukum (naskh wa al-mansukh)  harus memenuhi syarat-syaratnya ditentuka, terutama syarat/ketentuan adanya naskh dan mansukh. Pada akhirnya, hadis sebagai ketentuan yang datang kemudian daripada al-Quran dapat menghapus ketentuan dan isi kandungan al-Quran. Demikian menurut pendapat ulama yang menganggap adanya fungsi bayan al-nasakh. Kelompok yang membolehkan adanya nasakh jenis ini adalah golongan Mu’tazilah, Hanafiyah, dan Mazhab Ibn Hazm Al-Dhahiri.
Hanya saja Mu’tazilah membatasi fungsi nasakh ini hanya berlaku untuk untuk hadis-hadis yang mutawatir. Sebab al-Kitab itu nasakhnya diriwayatkan secara mutawatir (mutawatir lafdzi). Sementara golongan Hanafiyah yang dikenal agak longgar dalam hal naskh al-Quran dengan sunnah ini, tidak mensyaratkan hadisnya mutawatir, bahkan hadis masyhur (yang merupakan hadis Ahad) pun juga bisa menasakh hukum sebagian ayat   al-Quran. Bahkan Ibnu Hazm sejalan dengan adanya naskh kitab dengan sunnah ini meskipun dengan hadis Ahad. Ibnu Hazm memandang bahwa naskh termasuk bayan    Al-Quran.[7] 
Salah satu contoh yang biasa diajukan oleh para ulama:
“Tidak ada wasiat bagi ahli waris”.
Hadis ini menurut mereka menasakh isi firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah ayat 180:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiatlah untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.
Sementara yang menolak naskh jenis ini adalah Imam Syafi’I dan sebagian besar pengikutnya, meskipun naskh tersebut dengan hadis mutawatir. Kelompok lain yang menolak adalah sebagian besar pengikut mazhab Zhahiriyah dan kelompok Khawarij.

















BAB III
PENUTUP

Banyak ayat al-Quran dan hadis yang memberikan pengertian bahwa hadis itu merupakan sumber hukum Islam selain al-Quran yang wajib diikuti, baik dalam bentuk perintah maupun larangan-Nya. Berikut adalah kedudukan hadis sebagai sumber hukum Islam dengan dalil-dalil tentang kehujjahan hadis, baik naqli maupun aqli. “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulnya dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (Sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih baik akibatnya. (QS. Al-Nisa: 59) kemudian “Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat selagi kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu berupa kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”.(HR. Malik).
Fungsi hadis Rasul SAW sebagai penjelas (bayan) al-Quran itu bermacam-macam seperti yang dijelaskan dibawah ini :
1.      Bayan at-Taqrir, ialah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Quran. Fungsi hadis dalam hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Quran.
2.      Bayan al-Tafsir, untuk memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-Quran yang masih bersifat global (mujmal), dengan memberikan persyaratan/batasan (taqyid) ayat-ayat al-Quran yang bersifat mutlak, dan mengkhususkan (takhsish) terhadap ayat-ayat al-Quran yang masih bersifat umum.
3.      Bayan at-Tasyri’, adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak didapati dalam al-Quran, atau dalam al-Quran hanya terdapat pokok-pokoknya  (ashl) saja. Hadis Rasul SAW dalam segala bentuknya (baik yang qauli, fi’li maupun taqriri) berusaha menunjukkan suatu kepastian hukum terhadap berbagai persoalan yang muncul, yang tidak terdapat dalam al-Quran.
4.      Bayan al-Nasakh, ketentuan yang datang kemudian tersebut menghapus ketentuan yang datang terdahulu, karena yang terakhir dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan nuansanya.




























DAFTAR PUSTAKA

Suparta, Munzier. 2011. Ilmu Hadis. Jakarta: Rajawali Pers
Abdullah, Yatimin. 2009. Pengantar Studi Hadis. Pekanbaru: Fekonsos UIN Suska Riau



[1] Diriwayatkan oleh al-Syafi’iy dengan sanad dari Abu Rafi’ Mawla Rasulullah SAW.
[2] Abbas Mutawali Hamadah, op. cit., hlm. 143.
[3] Musthafa Al-Siba’i op. cit., hlm. 346.
[4] Lihat al-Syatibiy, op. cit, Juz IV, hlm. 16. Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, I’lam al-Muwaqinin, Juz II, Dar al-Tsaqafah, Beirut, tt, hlm. 289.
[5] Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah I’lam al-Muwaqinin, Juz II, (Mesir: Mathba’ah Al Sa’adah. 1995), hlm. 289.
[6] Abbas Mutawali Hamadah, op. cit., hlm. 169-170.
[7] Ibid, hlm. 172-173. Bandingkan dengan Musthafa Al-Siba’I, op. cit., hlm. 360.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar