Jumat, 01 Juni 2012

kumpulan makalah

BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang Masalah
Proses peralihan dari sistem dekonsentrasi ke sistem desentralisasi disebut pemerintah daerah dengan otonomi. Otonomi adalah penyerahan urusan pemerintah kepada pemerintah daerah yang bersifat operasional dalam rangka sistem birokrasi pemerintahan. Tujuan otonomi adalah mencapai efektifitas dan efisiensi dalam pelayanan kepada masyarakat. Tujuan yang hendak dicapai dalam penyerahan tugas ini antara lain menumbuhkembangkan daerah dalam berbagai bidang, meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, menumbuhkan kemandirian daerah, dan meningkatkan daya saing daerah dalam proses pertumbuhan.
Setelah pelaksanaan “Otonomi Daerah” berlangsung selama 11 (sepuluh) tahun  di Negara Kesatuan Republik Indonesia (2001-2012), harus diakui bahwa disatu sisi telah terjadi banyak perubahan positif dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah.  Hal ini tentunya tidak terlepas dari tujuan pemberian otonomi untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun demikian, harus pula   diakui bahwa disisi yang lain telah menimbulkan pula ekses-ekses negatif dalam pelaksanaannya.
Perubahan atau dampak posistif yang sangat menonjol dan dirasakan manfaatnya oleh daerah adalah besarnya aliran dana dari Pemerintah Pusat melalui Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Dekonsentrasi. Dengan aliran dana yang demikian besar itu, Pemerintah Daerah dapat mengalokasikannya untuk membiayai pembangunan daerah terutama yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat dibidang infra struktur dasar, politik, ekonomi dan sosial budaya. Secara umum dapat dikatakan bahwa pelaksanaan otonomi daerah berupa penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah yang disertai dengan penyerahan anggaran untuk diurus sendiri oleh daerah telah meningkatkan kegiatan pembangunan di daerah, dan sedikit banyaknya telah meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat.
Disamping dampak positif yang digambarkan secara umum tersebut, pelaksanaan otonomi daerah telah menimbulkan pula dampak negatif, yang apabila tidak dicarikan solusinya akan menyebabkan rusaknya sistem pemerintahan daerah secara keseluruhan. Oleh  karena itu penulis tertarik untuk memberi judul makalah ini dengan “Implikasi Negatif dari Pelaksanaan Otonomi Daerah”.

I.2 Rumusan Masalah
                        Adapun rumusan masalah dari uraian di atas yaitu sebagai berikut:
1.      Apa sajakah implikasi negatif dari pelaksanaan otonomi daerah?
2.      Upaya-upaya apa sajakah yang dilakukan untuk meminimalisir implikasi negatif tersebut?















BAB II
PEMBAHASAN
II. 1 Tinjauan Teori
A.    Pengertian Otonomi Daerah
Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 angka 5  memberikan definisi Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Mengacu pada definisi normatif dalam UU No 32 Tahun 2004, maka unsur otonomi daerah adalah : 
1. Hak.
2. Wewenang.
3. Kewajiban Daerah Otonom.
Ketiga hal tersebut dimaksudkan untuk mengatur dan mengurus sendiri, urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Didalam UU NO 32 Tahun 2004 yang dimaksud hak dalam konteks otonomi daerah adalah hak-hak daerah yang dijabarkan pada  Pasal 21 Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak:
1.      Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya.
2.      Memilih pimpinan daerah.
3.      Mengelola aparatur daerah.
4.      Mengelola kekayaan daerah.
5.      Memungut pajak daerah dan retribusi daerah.
6.      Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah.
7.      Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah.
8.      Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Berkaitan dengan wewenang dalam konteks otonomi daerah, maka daerah otonom, yaitu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat (Pasal 1 angka 6 UU No 32 Tahun 2004) berhak mengurus urusan pemerintahannya, urusan pemerintahan yang tertulis pada Pasal 12 UU No 32 Tahun 2004 memberikan panduan, yaitu:
(1) Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan.
 (2) Urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan.
Selanjutnya  urusan yang berkaitan dengan otonomi daerah di daerah otonom didasarkan pada asas desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Pasal 1 angka 7 UU No 32 Tahun 2004). Urusan Pemerintahan ini ada yang diklasifikasi menjadi urusan wajib dan dalam konstruksi UU No 32 Tahun 2004 ada urusan wajib  berskala provinsi dan berskala kabupaten, sebagaimana diatur pada Pasal 13.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:
a.       perencanaan dan pengendalian pembangunan.
b.      perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang.
c.       penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat.
d.      penyediaan sarana dan prasarana umum.
e.       penanganan bidang kesehatan.
f.       penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial.
g.      penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota.
h.      pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota.
i.        fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota.
j.        pengendalian lingkungan hidup.
k.      pelayaran pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota.
l.        pelayanan kependudukan, dan catatan sipil.
m.    pelayanan administrasi umum pemerintahan.
n.      pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota.
o.      penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota.
p.      urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.

B.     Pentingnya Otonomi Daerah
Krisis ekonomi dan kepercayaan yang melanda Indonesia memberikan dampak positif dan negatif bagi upaya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Disatu sisi krisis tersebut telah membawa dampak yang luar biasa pada tingkat kemiskinan, namun disisi lain krisis dapat pula memberi “berkah  tersembunyi” bagi upaya peningkatan taraf hidup seluruh rakyat Indonesia di masa yang akan datang. Karena krisis ekonomi dan kepercayaan yang dialami telah membuka jalan bagi munculnya reformasi total diseluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia. Reformasi juga telah memunculkan sikap keterbukaan dan fleksibilitas sistem politik dan kelembagaan sosial, sehingga mempermudah proses pengembangan dan modernisasi lingkungan legal dan regulasi untuk pembaruan paradigma diberbagai  bidang kehidupan.
Salah satu unsur reformasi adalah tuntutan pemberian otonomi daerah yang luas kepada daerah kabupaten/kota. Tuntutan seperti itu wajar, alasannya adalah:
a.       Intervensi pemerintah pusat yang terlalu besar dimasa lalu telah menimbulkan masalah rendahnya kapabilitas dan efektivitas pemerintah daerah dalam mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah.
b.      Tuntutan pemberian otonomi juga muncul sebagai jawaban untuk memasuki daerah era game, game yang membawa new rules pada semua aspek kehidupan manusia dimasa yang akan datang. Di era seperti ini dimana globalization cascade sudah semakin luas, pemerintah akan semakin kehilangan kendali pada banyak persoalan seperti pada perdagangan Internasional, informasi, dan ide serta transaksi keuangan. Dimasa depan pemerintah sudah terlalu besar untuk menyelesaikan permasalahan kecil tetapi terlalu kecil untuk dapat menyelesaikan semua permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat .
Secara teoritis desentralisasi diharapkan akan menghasilkan dua manfaat yang nyata yaitu:
1.      mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreativitas masyarakat dalam pembangunan, serta mendorong pemerataan hasil pembangunan (keadilan) diseluruh daerah dengan memanfaatkan sumber daya dan potensi yang tersedia dimasing-masing daerah.
2.      memperbaiki alokasi sumber daya produktif melalui pergeseran peran pengambilan keputusan publik ke tingkat pemerintah yang paling rendah yang memiliki informasi yang paling lengkap.
Dalam upaya pemberdayaan pemerintah daerah, maka persfektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah adalah:
a.       pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik (public oriented)
b.      kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah pada umumnya dan anggaran pada khususnya
c.       desentralisasi pengelolaan keuangan daerah dan kejelasan peran para partisipan yang terkait dalam pengelolaan anggaran, seperti DPRD, kepala daerah, Sekda dan perangkat daerah lainnya
d.      kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi dan pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar, value for money, transparansi dan akuntabilitas
e.       kejelasan tentang kedudukan keuangan DPRD, kepala daerah dan PNS Daerah baik ratio maupun dasar pertimbangannya
f.       ketentuan tentang bentuk dan struktur anggaran kinerja dan anggaran multi tahunan
g.      prinsip pengadaan dan pengelolaan barang daerah yang lebih professional
h.      prinsip akuntansi pemerintah daerah
i.        aspek pembinaan dan pengawasan yang meliputi batasan pembinaan, peran asosiasi dan peran anggota masyarakat guna pengembangan profesionalisme aparat pemerintah daerah
j.        pengembangan sistem informasi keuangan daerah

II.2  Tinjauan Praktik
A.    Implikasi Negatif dari Pelaksanaan Otonomi Daerah
*                  Sejak diberlakukannya paket UU mengenai Otonomi Daerah, banyak orang sering membicarakan aspek positifnya. Memang tidak disangkal lagi, bahwa otonomi daerah membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau pinggiran. Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan tersebut tampaknya banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak menguntungkan tersebut.
Akan tetapi di tengah-tengah optimisme itu terbersit kekhawatiran bahwa otonomi daerah juga akan menimbulkan beberapa persoalan yang jika tidak segera dicari pemecahannya akan menyulitkan upaya daerah untuk memajukan rakyatnya. Karena, tanpa disadari, beberapa dampak yang tidak menguntungkan bagi pelaksanaan otonomi daerah telah terjadi. Setidaknya ada dua fenomena yang mengkhawatirkan. Pertama, adanya kecenderungan pemerintah daerah untuk mengeksploitasi rakyat melalui pengumpulan pendapatan daerah. Kedua, penggunaan dana anggaran yang tidak terkontrol alias jor-joran.
1.      Eksploitasi Pendapatan Daerah
Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada alokasi pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya sudah muncul inherent risk (risiko bawaan), bahwa daerah akan melakukan upaya maksimalisasi, bukan optimalisasi, perolehan pendapatan daerah. Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa daerah harus mempunyai dana yang cukup untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun pembangunan. Daerah harus membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat yang statusnya dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping itu daerah juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Dengan skenario semacam ini, banyak daerah akan terjebak dalam pola tradisional dalam pemerolehan pendapatan daerah, yaitu mengintensifkan pemungutan pajak dan retribusi. Bagi pemerintah daerah pola ini tentu akan sangat gampang diterapkan karena kekuatan koersif yang dimiliki oleh institusi pemerintahan; sebuah kekuatan yang tidak applicable dalam negara demokratis modern. Pola peninggalan kolonial ini menjadi sebuah pilihan utama karena ketidakmampuan pemerintah dalam mengembangkan sifat wirausaha (enterpreneurship).
Bila dikaji secara matang, instensifikasi perolehan pendapatan yang cenderung eksploitatif semacam itu justru akan banyak mendatangkan persoalan baru dalam jangka panjang, dari pada manfaat ekonomis jangka pendek, bagi daerah. Persoalan pertama adalah beratnya beban yang harus ditanggung warga masyarakat. Meskipun satu item pajak atau retribusi yang dipungut dari rakyat hanya berkisar seratus rupiah, akan tetapi jika dihitung secara agregat jumlah uang yang harus dikeluarkan rakyat perbulan tidaklah kecil, terutama jika pembayar pajak atau retribusi adalah orang yang tidak mempunyai penghasilan memadai. Persoalan kedua terletak pada adanya kontradiksi dengan upaya pemerintah daerah dalam menggerakkan perekonomian di daerah. Bukankah secara empiris tidak terbantahkan lagi bahwa banyaknya pungutan hanya akan menambah biaya ekonomi yang ujung-ujungnya hanya akan merugikan perkembangan ekonomi daerah setempat.
2.      KKN di Daerah
Fenomena lain yang sejak lama menjadi kekhawatiran banyak kalangan berkaitan dengan implementasi otonomi daerah adalah bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah. Sinyalemen ini menjadi semakin beralasan ketika terbukti bahwa banyak pejabat publik yang masih mempunyai kebiasaan menghambur-hamburkan uang rakyat untuk piknik ke luar negeri dengan alasan studi banding. Juga, mulai terdengar bagaimana anggota legislatif mulai menggunakan kekuasaannya atas eksekutif untuk menyetujui anggaran rutin DPRD yang jauh lebih besar dari pada sebelumnya. Belum lama diberitakan di Kompas (4/9) bagaimana legislatif Kota Yogya membagi dana 700 juta untuk 40 anggotanya atau 17,5 juta per orang dengan alasan menutup biaya operasional dan kegiatan kesekretariatan. Mengapa harus ada bagi-bagi sisa anggaran? Tidakkah jelas aturannya bahwa sisa anggaran seharusnya tidak dihabiskan dengan acara bagi-bagi, melainkan harus disetorkan kembali ke Kas Daerah? Dipandang dari kacamata apapun perilaku pejabat publik yang cenderung menyukai menerima uang yang bukan haknya adalah tidak etis dan tidak bermoral, terlebih jika hal itu dilakukan dengan sangat terbuka.
Dengan adanya penerapan sistem ini membuka peluang yang sebesar-besarnya bagi pejabat daerah (pejabat yang tidak benar) untuk melalukan praktek KKN. Seperti yang dimuat pada majalah Tempo Kamis 4 November 2004 (www.tempointeraktif.com) “Desentralisasi Korupsi Melalui Otonomi Daerah”
Setelah Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, resmi menjadi tersangka korupsi pembelian genset senilai Rp 30 miliar, lalu giliran Gubernur Sumatera Barat Zainal Bakar resmi sebagai tersangka kasus korupsi anggaran dewan dalam APBD 2002 sebesar Rp 6,4 miliar, oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat. Dua kasus korupsi menyangkut gubernur ini, masih ditambah hujan kasus korupsi yang menyangkut puluhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di berbagai wilayah di Indonesia, dengan modus mirip: menyelewengkan APBD.
Berikut ini beberapa modus korupsi di daerah:
1.      Korupsi Pengadaan Barang. Modus :
a.   Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari harga pasar.
b.  Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender.
2.      Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah). Modus :
a.       Memboyong inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
b.      Menjual inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
3.      Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, keniakan pangkat, pengurusan pensiun dan sebagainya.
Modus : Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.
4.      Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan jompo. Modus :
a. Pemotongan dana bantuan sosial
b. Biasanya dilakukan secara bertingkat (setiap meja).
5.  Bantuan fiktif
Modus : Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari pemerintah ke pihak luar.
6.   Penyelewengan dana proyek. Modus :
a. Mengambil dana proyek pemerintah di luar ketentuan resmi.
b. Memotong dana proyek tanpa sepengtahuan orang lain.
7.   Proyek fiktif fisik
Modus : Dana dialokasikan dalam laporan resmi, tetapi secara fisik proyek itu nihil.
8.   Manipulasi hasil penerimaan penjualan, penerimaan pajak, retribusi dan iuran. Modus:
a. Jumlah riil penerimaan penjualan, pajak tidak dilaporkan.
b. Penetapan target penerimaan
Selain korupsi juga ada kolusi yaitu permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar Penyelenggara Negara atau Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara. Prilaku kolusi ini tumbuh subur di daerah sebagai dampak langsung dari pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah secara langsung, dimana para kandidat Kepala Daerah selalu dibantu oleh “Tim Sukses” untuk memenangkan pertarungan dalam pemilihan. Tim Sukses ini terdiri dari berbagai kalangan masyarakat yang berpengaruh dalam masyarakat seperti pengurus partai politik, tokoh masyarakat, pengusaha, lembaga kemasyarakatan dan keagamaan. Ketika seorang kandidat berhasil memenangkan pertarungan dalam pemilihan dan berhasil diangkat dan menduduki jabatan Kepala Daerah, maka semua kegiatan yang akan dilakukan oleh Sang Penguasa baru ini mulai dari penentuan posisi pejabat birokrasi pemerintahan, pembagian pekerjaan proyek pembangunan prasarana fisik, sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya harus melibatkan Tim Sukses. Kolusi ini akan sangat nampak kelihatan dilapangan ketika tiba-tiba muncul para kontraktor baru yang melaksanakan pekerjaan proyek pembangunan prasarana fisik seperti pengaspalan jalan, pembangunan gedung perkatoran dan sebagainya, padahal yang bersangkutan sebelumnya seorang pengukur jalan yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Yang bersangkutan tiba-tiba muncul sebagai kontraktor baru karena kedudukannya sebagai Tim Sukses Kepala Daerah dalam pemilihan kepala daerah.
Sedangkan prilaku nepotisme yang dalam pengertian Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas KKN Pasal 1 angka 5 bahwa “Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa dan negara”. Prilaku nepotisme ini merupakan  prilaku paling buruk dari seorang “Penguasa Daerah” dan akan sangat merusak tatanan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam jangka panjang.
Hal paling kental terlihat dengan jelas dalam penempatan pejabat birokrasi pemerintahan daerah. Apalagi bila seorang Kepala Daerah memliki anak, saudara, sepupu, keponakan, bahkan cucu yang berstatus Pegawai Negeri Sipil, maka seluruh pejabat pada posisi jabatan strategis dapat dipastikan akan diduduki oleh keluarga dan kroni Kepala Daerah yang bersangkutan. Keadaan semacam ini masih dapat diterima ataupun dimaklumi oleh masyarakat terutama kalangan Pegawai Negeri Sipil apabila keluarga Kepala Daerah tersebut memenuhi persyaratan jabatan yang didudukinya, tetapi banyak terjadi bahwa pejabat tersebut hanya dipaksakan oleh Kepala Daerah tanpa memenuhi persyaratan jabatan yang diduduki. Kondisi tersebut dapat menimbulkan persaingan tidak sehat dikalangan sesama Pegawai Negeri Sipil, bahkan dapat menurunkan motivasi Pegawai Negeri Sipil untuk menunjukkan prestasi kerja terbaik demi pencapaian tujuan organisasi.
Prilaku nepotisme ini juga terlihat jelas dalam proses penerimaan Pegawai Negeri Sipil baru di daerah. Setiap dilakukan penerimaan Pegawai Negeri Sipil, maka yang lulus dan diterima adalah mereka yang memiliki hubungan keluarga dengan Kepala Daerah dan kroninya. Proses seleksi diatur sedemikian rupa sehingga yang berhasil diluluskan adalah  titipan Kepala Daerah yang bersangkutan. Dan lucunya, apabila kecurangan-kecurangan dalam penerimaan Pegawai Negeri Sipil itu diprotes oleh masyarakat dengan data dan fakta yang lengkap dan sangat mendukung sebagai bukti terjadinya kecurangan tersebut, pihak yang berwenang selalu menyatakan bahwa laporan masyarakat tersebut tidak dapat dibuktikan. Kondisi penyelesaian kasus seperti itu menjadi pembenar dari anggapan masyarakat bahwa penyelesaian kasus yang melibatkan pejabat daerah selalu mentah karena pejabat tersebut memiliki banyak.
B.     Upaya Alternatif dan Kontrol Masyarakat
Pada intinya, dua dampak negatif di atas akan tetap menjadi persoalan tersendiri, terlepas dari keberhasilan implementasi otonomi daerah. Pilihan kebijakan yang tidak populer melalui intensifikasi pajak dan perilaku koruptif pejabat daerah sebenarnya sudah ada sejak lama dan akan terus berlangsung. Jika kini keduanya baru muncul dipermukaan sekarang, tidak lain karena momentum otonomi daerah memang memungkinkan untuk itu. Otonomi telah menciptakan kesempatan untuk mengeksploitasi potensi daerah dan sekaligus memberi peluang bagi para pahlawan baru menganggap dirinya telah berjasa di era reformasi untuk bertindak semau gue. Untuk menyiasati beratnya beban anggaran, pemerintah daerah semestinya bisa menempuh jalan alternatif, selain intensifikasi pungutan yang cenderung membebani rakyat dan menjadi disinsentif bagi perekonomian daerah, yaitu (1) efisiensi anggaran, dan (2) revitalisasi perusahaan daerah.
Upaya revitalisasi perusahaan daerah pun kurang mendapatkan porsi yang memadai karena kurangnya sifat kewirausahaan pemerintah. Sudah menjadi hakekatnya bahwa pemerintah cenderung melakukan kegiatan atas dasar kekuatan paksa hukum, dan tidak berdasarkan prinsip-prinsip pasar, sehingga ketika dihadapkan pada situasi yang bermuatan bisnis, pemerintah tidak bisa menjalankannya dengan baik. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini pemerintah daerah bisa menempuh jalan dengan menyerahkan pengelolaan perusahaan daerah kepada swasta melalui privatisasi.
Dalam kaitannya dengan persoalan korupsi, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan terhadap pemerintah daerah juga perlu diupayakan. Pemerintah daerah atau pejabat publik lainnya, termasuk legislatif, pada dasarnya kurang bisa dipercaya, lebih-lebih untuk urusan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah. Tidak pernah sekalipun terdengar ada institusi pemerintahan, termasuk di daerah yang terbebas dari penyalahgunaan uang rakyat. Masyarakat harus turut aktif dalam menangkal perilaku korupsi di kalangan pejabat publik, yang jumlahnya hanya segelintir dibandingkan dengan jumlah rakyat pembayar pajak yang diwakilinya. Rakyat boleh menarik mandat jika wakil rakyat justru bertindak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan mengkhianati nurani keadilan masyarakat. Begitu juga, akhirnya seorang kepala daerah atau pejabat publik lain bisa diminta turun jika dalam melaksanakan tugasnya terbukti melakukan pelanggaran serius, yaitu korupsi dan menerima suap atau hibah dalam kaitan jabatan yang dipangkunya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar